THE PARAPHRASE OF ICHAY'S RHAPSODY
Part II
by rani aldes saribanon
Siang itu aku duduk di bench yang nampak tua namun kuyakini masih kokoh menopang tiap makhluk yang bersedia melepas lelah di atasnya. Aku tak suka menunggu orang, namun aku lakukan jua, tak begitu rugi, toh yang kutunggu adalah sahabat karibku. Entah mengapa saat itu aku hanya termenung, berusaha menangkap bayang-bayang dari siluet yang sempat bertengger di bahuku namun terlalu cepat berlalu. Perlahan aku memalingkan muka, mencari hal-hal yang jauh lebih baik daripada sekadar memanjakan khayal masa lalu. Kupandangi langit biru, hijau dedaunan rimbun angsana yang selalu memesona, lalu lalang makhluk-makhluk kampus, jalan yang hitam dan sepertinya tak akan pernah berubah warna, dinding gedung tempatku biasa belajar (termasuk dengannya di kelas yang sama, meski hanya untuk dua mata kuliah), dan, ah, tiba-tiba pandanganku terbentur sangat keras pada satu sosok yang tak pernah kukenal baik namun selalu kurasakan kukenal baik, entah mengapa. Aku, sekuat tenaga, menahan diriku agar tak sedikut pun menimbulkan gerakan yang berpotensi akan membuatku malu atau membuatnya curiga. Aku bersyukur telah terlahir sebagai seorang perempuan karena, seperti yang pernah kudengar, hanya dengan ujung mata pun perempuan sudah dapat menangkap objek pandangannya, lain halnya dengan laki-laki yang harus benar-benar memusatkan bola matanya saat ia berniat memandang sesuatu. Maka, sambil tersenyum dalam hati, lewat lirikan yang teramat singkat aku tahu ada yang salah dengannya, dengan kakinya tepatnya.
"Woi, yuk, pulang," suara si banci Agni memecah pemusatan pikiranku. Sial, kenapa ia harus selesai dengan hajatnya di kamar mandi di tengah-tengah keasyikanku dengan sosoknya. Namun aku tersadar, kalau bukan karena menunggu kawanku yang satu ini, tentu aku pun tak akan dapat berjumpa dengannya. Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan bersama Agni dan kawan-kawan yang lain.
Aku sengaja melambatkan laju jalanku, membiarkan kawan-kawanku berjalan lebih dahulu, karena tiba-tiba aku berniat menyapanya.
"Eh, kenapa tuh kaki?" tanyaku padanya sambil menunjuk ibu jari kaki kirinya yang terbalut kassa dan plester dengan rapi, tanpa ragu, tanpa peduli ia akan menganggapku "sok akrab" atau apapun. Namun sungguh Tuhan itu Maha Berencana, dan rencana-Nya tak pernah mampu kutebak! Aku yang – tadinya – begitu yakin pertanyaanku hanya akan berakhir dengan sebuah jawaban sederhana, ternyata mendapat sambutan lain. Dia tersenyum kecil, sama persis dengan senyum yang ia beri di kelas tempo hari.* Senyum yang sialnya – lagi-lagi – membuatku sedetik terkesima namun berjam-jam tak tenang saat malam tiba (.......).
"Oh, ini. Ketinggang tangga," setelah berhasil membuatku terpana lewat senyumnya, ia sekali lagi membuatku tercengang dengan jawabannya. Ketinggang, sebuah jargon baru, bahasa Sunda katinggang yang dipaksakan beradaptasi dengan imbuhan dalam bahasa Indonesia, ke-.** Aku ingin tertawa mendengar jawabannya, namun tidak kulakukan mengingat aku cukup menghargainya dan tidak ingin membuatnya tersinggung.
Setelah meninggalkan secarik senyum, aku berlalu, menghampiri kawan-kawanku yang telah berada beberapa puluh meter di hadapanku, dengan tetap menyimpan sepotong ingatan baru tentangnya.
Bersambung...
(komenmu menentukan kelanjutan parafrase ini)
#nama yang tercantum dalam parafrase ini disamarkan agar tidak menimbulkan ke-ge-er-an pada tokoh sebenarnya ;)#
* see part I of "the Paraphrase of Ichay's Rhapsody"
** imbuhan ke- dalam wacana di atas adalah imbuhan tidak baku, peralihan dari imbuhan ter- yang artinya "tidak sengaja di-".
Contoh:
Baku: Eka menangis saat jari tangannya terjepit pintu.
Setengah tidak baku: Eka menangis saat jari tangannya kejepit pintu.
Total tidak baku: Eka nangis pas jari tangannya kejepit pintu.
Versi "dia-nya Ichay": Eka menangis saat jari tangannya kecepet pintu.
Versi penulis: Eka (Ramdani) gak mungkin nangis dong cuma gara-gara jari tangannya kejepit pintu!
(silakan buat versimu sendiri kalo mau mah…)